Terima kasih atas kunjungannya dan kami mohon untuk mengisi buku tamu dan meninggalkan komentar demi kemajuan blog ini, kunjungi juga channel youtube kami di Nid@ Channel atau WA 085233347483

Rabu, 13 November 2019

Menentang Takdir Part 1

Karya : Mahaleny (Leny Khan)

Aku terperanjat ketika melihat foto yang di kirimkan Madya adikku melalui pesan WA. Foto seorang laki-laki yang telah resmi mengkhitbahnya tadi malam. Ada sebuah rasa sakit yang menghunjam. Ketika menyadari lelaki itu adalah seseorang yang sangat aku dambakan menjadi pendamping hidupku selama ini.

Seorang lelaki yang begitu bersahaja, memiliki ilmu agama yang mumpuni. Anak seorang pengasuh pondok pesantren ternama di kota kelahiranku. Keshalihannya membuatku telah jatuh cinta padanya, ketika kami pertama kali bertemu dalam acara pengajian remaja yang diadakan setiap akhir pekan di masjid kompleks perumahan tempatku tinggal.


Hakim, begitu nama panggilannya. Cara dia bersikap kepada lawan jenis sangatlah santun. Tak pernah jelalatan meskipun ia sedang berbicara di depan forum. Juga tak pernah kulihat dia berjalan dengan wanita manapun kecuali ibu atau saudara perempuannya. Begitu taatnya dia menjalani syariat agama. Mungkin itulah hal utama yang membuatku jatuh cinta padanya. Hanya saja aku tak berani mengutarakannya pada siapapun termasuk pada kedua orang tuaku. Aku mengaguminya dalam diam, mengungkapkannya lewat doa-doa malamku. Memintanya pada Sang Maha Pemilik Hati. Meskipun akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa dia bukan untukku.

Ya, baru beberapa bulan aku berada di kota metropolitan ini untuk menyelesaikan S2-ku, tiba-tiba saja malam ini aku di kejutkan oleh berita telah di khitbahnya Madya oleh Hakim. Berita yang seharusnya membuatku bahagia karena adik kesayanganku telah bertemu dengan jodohnya, harus menjadi berita duka untukku.

Kuusap air mata yang perlahan turun membasahi pipiku. Berusaha untuk tegar menerima semua kenyataan. Bahwa jodoh, rezeki, dan maut hanya Allah yang menentukan. Walaupun sebelumnya aku sudah bertekad, akan memberitahu keluargaku tentang apa yang kurasakan setelah aku menyelesaikan kuliahku. Tapi ternyata, aku terlambat.

Orang tuaku meminta agar aku segera pulang, sebab dua minggu lagi Madya dan Hakim akan melangsungkan pernikahan. Keluargaku termasuk keluarga yang alhamdulillaah sedikit banyaknya telah paham agama, sehingga mereka tak ingin menunda lama hal baik ini.

“Jihan,” suara Fadil membuyarkan lamuanku. Dia adalah abangku satu-satunya yang sudah menikah dan punya anak dua orang. Aku berani mengambil S2 di kota ini karena ada dia di sini. Jadi aku tak perlu tinggal sendiri tanpa mahram.

Buru-buru kususut air mata yang masih menggenang. Lalu sebisa mungkin mengembangkan senyum untuknya. “Iya, Bang?”

Fadil duduk di sampingku. Netranya menyelidiki raut wajah milik adiknya ini.

“Kamu menangis?”

“Nggak,”

“Lalu itu apa?” Fadil menunjuk sudut mataku.

Aku tertawa kecil. ”Kelilipan doang kok,” kilahku.

“Ooh,” cuma itu yang keluar dari mulutnya meskipun aku tahu ia tak percaya dengan jawabanku.

“Abang mau pesen tiket, kapan kamu bisa ambil cuti kuliah?”

Aku terdiam, memainkan ponsel yang ada di tanganku. Lalu kupandang wajahnya, “bolehkah aku tidak ikut pulang?” suaraku sedikit bergetar.

“Kenapa? Ada alasan yang kiranya bisa abang terima?”

Kembali kualihkan pandanganku pada ponsel di tanganku. “Aku...aku merasa tidak sanggup, Bang,”

“Tidak sanggup karena apa? Apa karena...Madya lebih dulu menikah daripada kamu?” tebaknya dengan nada hati-hati.

Aku menggeleng. “Bukan,” sahutku berusaha menahan air mata yang ingin segera tumpah.

“Lalu apa?”

Lagi-lagi aku menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku...aku hanya sedang tidak bisa meninggalkan jadwal kuliahku, Bang,”

“Apa itu lebih penting daripada adikmu?”

Kembali terdiam dan berusaha mencari jawaban yang bisa membuatku terlepas dari acara itu.

“Jihan?” Fadil menyentuh bahuku. “Ada sesuatu yang abang belum tahu tentangmu?” tanyanya penuh selidik.

Aku menghela napas, terus berusaha agar air mataku tidak tumpah di depan Fadil. Lalu menggeleng pelan.

“Aku abangmu, aku yang membersamaimu sejak kecil. Jadi kamu tidak bisa berbohong padaku,”

“Tidak ada yang kusembunyikan darimu, Bang. Sungguh!” Aku tetap bersikukuh. Mencoba meyakinkan lelaki di depanku.

“Apa karena Hakim?”

Aku terperanjat. Menoleh padanya yang ternyata sedang menatap tajam padaku.

“Apa maksud abang?” gugup rasanya saat Fadil berusaha membuatku jujur.

“Abang rasa kamu paham maksud abang,”

Kutelan saliva dengan rasa yang tercekat di tenggorokan. Lalu membuang pandangan dari tatapan Fadil.

“Abang mengada-ngada, apa hubungannya dengan Hakim?” Kilahku menutupi.

“Kamu pernah berharap lebih pada lelaki itu bukan?”

Aku bergeming.

“”Kenapa tidak pernah bicara pada abang?”

Tak tahan lagi aku menggamit lengannya, menjatuhkan kepalaku di bahunya. Lalu menumpahkan tangis yang tertahan sejak tadi. Fadil membiarkan bajunya basah oleh air mataku. Karena akhirnya ia sudah tahu dilema seperti apa yang sedang melanda adik perempuannya ini. Meskipun ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untukku saat ini.

   ***

Madya memang jauh lebih cantik dariku. Dia wanita supel dan periang. Di usianya yang baru memasuki 23 tahun terlihat sekali kalau dia sangat mempesona. Sehingga sudah banyak lelaki shalih yang meminangnya tapi ia tolak. Hingga saat orang tua Hakim yang datang langsung meminangnya barulah ia terima.

Aku dan Madya terpaut usia tiga tahun saja. Mungkin karena kecantikan Madya-lah yang membuat Hakim lebih memilih dia ketimbang aku. Walau seharusnya aku yang lebih duluan menikah. Tapi karena kami tidak percaya akan mitos-mitos itu maka hal itu tak berlaku dalam keluarga kami. Siapa yang ingin duluan menikah silahkan, siapa yang ingin belakangan juga silahkan. Tak memandang siapa yang lebih tua.

     ***

Fadil melingkarkan tangannya dibahuku saat acara ijab qabul akan dimulai. Seolah ia ingin menguatkan adik perempuannya ini. Aku menahan sesak didada, berusaha agar tidak ada drama dalam acara sakral ini. Selalu berusaha tersenyum meskipun berat harus menerima kenyataan.

 Sekilas aku melihat Hakim seperti mencari-cari seseorang dengan sorot matanya yang teduh. Hingga ketika ia menemukanku dan mata kami saling beradu pandang ia tak berusaha menghindar, hingga beberapa detik sampai aku sendiri yang menundukkan pandanganku. Karena aku takut tak mampu menguasai diri.

Tak berapa lama dan hanya butuh satu kali pengucapan ijab qabul hingga akhirnya Madya resmi menjadi istri Hakim. Suasana berubah sedikit ramai dengan kumandang doa-doa dari keluarga dan para tamu yang hadir. Wajah kedua mempelai terlihat begitu berseri.

 Fadil masih memegang bahuku, “Abang tahu kamu perempuan tangguh dan kuat, yakinlah bahwa rencana Allah lebih indah dari yang kamu bayangkan, setelah ini kamu akan mendapatkan jodoh siapa pun yang kamu mau” bisiknya pelan di telingaku.

Kupandangi wajahnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Siapa pun?” tanyaku setengah berbisik.

“Iya, siapa pun.”

 Lalu ujung jarinya mengusap sudut mataku agar kristal itu tidak berhasil turun. Aku tersenyum getir dan mengangguk pelan.

       ***

Pesta pernikahan Madya dan Hakim di selenggarakan lumayan mewah dan besar-besaran di gedung pesantren milik Ayahnya Hakim. Dengan mengundang ratusan anak yatim piatu dari beberapa panti asuhan sebagi bentuk rasa syukur.

Pesta yang mengusung konsep syariat Islam ini terasa begitu  indah. Tak ada musik dan tak ada pengantin yang dipajang. Serta tempat tamu laki-laki dan perempuan pun di pisahkan agar tidak ada khalwat di antara mereka.

Merasa jenuh dengan keramaian di dalam gedung aku pun pergi mengasingkan diri mencari udara segar. Angin yang bertiup lumayan kencang di tengah teriknya sinar mentari membuat dadaku sedikit terasa sejuk. Lambaian ujung jilbab lebar yang kukenakan seakan ikut merasakan apa yang sedang terjadi di dalam hatiku.

Aku mendaratkan tubuhku di sebuah bangku taman berwarna coklat. Sebuah taman yang terdapat di belakang gedung pesantren. Taman ini terlihat begitu asri dengan hijaunya pepohonan dan indahnya beberapa macam bunga yang sedang bermekaran. Di sini sepi, jauh dari hiruk pikuknya suasana pesta. Hanya terlihat beberapa santri sedang fokus dengan Mushhaf di tangannya. Mereka calon hafidzh yang akan menjadi pemimpin di masa depan, insyaaAllah.

Hakim dan Madya sudah di gariskan bersama, dan tidak ada yang akan bisa memisahkan mereka kecuali seizin Allah. Hal itu yang sedang berusaha kutanamkan dalam hati.

“Jihan? Ngapain di sini? Ayo masuk, kita mau ambil foto keluarga!” seru Fadil tiba-tiba.

Aku menoleh padanya. “Iya, Bang,” sahutku patuh lalu beranjak meninggalkan bangku itu.

    ***

Besok lusa aku akan kembali ke Jakarta bersama Fadli dan juga istri beserta anak-anaknya. Dan hari ini orang tuaku sengaja mengundang Madya dan Hakim untuk makan malam bersama.  Aku risih sebenarnya jika harus bertemu muka lagi dengan lelaki itu. Tapi mau bagaimana lagi, ini sebenarnya hal lumrah jika saja aku tak pernah menaruh hati pada Hakim.

“Makan yang banyak Jihan, biar gemukan dikit!” celetuk Azizah istri Fadil saat melihatku hanya mengaduk-aduk makanan di piring dengan malas.

“Apaan sih, Kak?” sungutku menahan malu, karena semua mata mulai tertuju padaku.

“Bener tuh kata kakak kamu, makan yang banyak. Kamu selama di Jakarta paling males kalau di suruh makan. Malah sampe berantem dulu sama Azizah baru mau,” timpal Fadil membuat semua orang jadi menertawaiku. Sempat kulihat Hakim hanya mengulum senyum sambil melirikku sekilas kemudian menunduk kembali fokus dengan makanan di depannya.

“Tenaaaaang Bang Fadil, Kak Zizah, Madya udah siapin makanan kesukaan Kak Jihan kok. Biar dia bisa makan banyak selama di Jakarta.” Ujar Madya sambil tersenyum sumringah ke arahku.

“Emang kamu bisa masak?” Ejekku.

“Eeeeh, jangan salah, aku udah belajar masak sama Umi selama kakak di Jakarta. Dan hasilnya nggak mengecewakan kok. Ya kan Mas?” Madya menyikut pelan suaminya.

“Lumayanlah, meskipun kadang rasanya nggak jelas,” sahut Hakim sambil bercanda. Madya membelalakkan matanya dan mencubit lengan suaminya.

“Nggak kok bercanda,” Hakim mengelus kepala Madya. Membuat jantungku seakan terbakar rasanya menyaksikan adegan pengantin baru itu.

 “Bener kata Madya, masakannya enak kok, nggak sia-sia dia belajar masak selama  beberapa bulan ini,” tambahnya dengan wajah bangga menatap Madya. Yang di tatap malah cengar cengir manja nggak jelas.

‘Huh! Apa-apaan sih dia, mentang-mentang pengantin baru nggak dimana-mana sok-sok mesra terus,’ umpatku dalam hati.

“Ada untungnya juga kamu ke Jakarta kan Jihan, jadi si Madya mau belajar masak, dan nggak ngandelin Umi sama kamu aja,” Abi angkat bicara. Ibu hanya tertawa kecil menangggapi.

Semakin hilang selera makanku gara-gara mereka.

“Jihan, ayo di habiskan cepat makanannya. Habis ini kita mau ada yang di bicarakan sama-sama,” Umi menyentuh tanganku dengan lembut. Seakan tahu suasana hati anak perempuannya yang sedang tak menentu.

“Iya, Mi,” sahutku dan kembali fokus mencoba memindahkan makanan itu kembali ke dalam mulutku.

Entah kenapa setiap aku tak sengaja melihat ke arah Hakim, lelaki itu pun sedang melihat ke arahku. Dan di akhiri dengan secepatnya sama-sama membuang muka. Ah, mungkin aku saja yang kege-eran.

Bersambung

Sumber: http://www.salmanelfarisi.xyz/2019/08/menentang-takdir-1.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo dikomentari